Minggu, 22 Juni 2014

SWASEMBADA PANGAN


A.  Pengertian Swasembada Pangan

Swasembada pangan berarti kita mampu untuk mengadakan sendiri kebutuhan pangan dengan bermacam-macam kegiatan yang dapat menghasilkan kebutuhan yang sesuai diperlukan masyarakat Indonesia dengan kemampuan yang dimilki dan pengetauhan lebih yang dapat menjalankan kegiatan ekonomi tersebut terutama di bidang kebutuhan pangan.Yang kita ketahui Negara Indonesia sangat berlimpah dengan kekayaan sumber daya alam yang harusnya dapat menampung semua kebutuhan pangan masyarakat Indonesia slah satu cara yaiutu dengan berbagai macam kegiatan seperti ini :

-    Pembuatan UU & PP yg berpihak pada petani & lahan pertanian.
 
• Pengadaan infra struktur tanaman pangan seperti: pengadaan daerah irigasi & jaringan irigasi, pencetakan lahan tanaman pangan khususnya padi, jagung, gandum, kedelai dll serta akses jalan ekonomi menuju lahan tsb.


-   Penyuluhan & pengembangan terus menerus utk meningkatkan produksi, baik pengembangan bibit, obat2an, teknologi maupun sdm petani.
• Melakukan Diversifikasi pangan, agar masyarakat tidak dipaksakan utk bertumpu pada satu makanan pokok saja (dlm hal ini padi/nasi), pilihan diversifikasi di indonesia yg paling mungkin adalah sagu, gandum dan jagung (khususnya Indonesia timur).

Jadi diversifikasi adalah bagian dr program swasembada pangan yg memiliki pengembangan pilihan/ alternatif lain makanan pokok selain padi/nasi (sebab di indonesia makanan pokok adalah padi/nasi). Salah satu caranya adalah dengan sosialisasi ragam menu yang tidak mengharuskan makan nasi seperti yang mengandung karbohidrat juga seperti nasi yaitu singkong,ubi dan kentang.


B. Lalu apakah bangsa Indonesia telah mencapai swasembada pangan ?

Dari lima komoditas utama pangan di Indonesia, Badan Ketahanan Pangan Indonesia memperkirakan, dua komoditas pangan yang paling tergantung pada impor yakni kedelai dan daging.

Kepala Badan Ketahanan Pangan Indonesia, Achmad Suryana, kepada ABC Internasional mengungkapkan saat ini memang semua lima komoditas pangan utama masih ditopang impor karena belum mampu untuk swasembada.

“Impor masih akan dihadapi oleh Indonesia untuk kedelai dan daging sapi sampai tahun depan, tetapi kami berupaya untuk meningkatkan produksi dalam negeri,” ungkap Suryana.

Pada tahun 2010 jumlah penduduk Indonesia adalah 237. 641. 326 jiwa menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) sehingga menduduki peringkat ke-empat penduduk terbanyak didunia dan pada tahun 2013 penduduk Indonesia berkisar 250 Juta jiwa dengan pertumbuhan penduduk 1,49 persen per tahun. Besarnya penduduk Indonesia juga menjadi dilema tersendiri, sudah dipastikan akan menimbulkan masalah baru ditenggah masalah yang sudah menumpuk khususnya pangan.
Indonesia adalah negara agraris yang tidak mampu memenuhi kebutuhan panganya sendiri secara mandiri. Dengan Luas daratan Indonesia adalah 1.922.570 km² dan luas perairannya 3.257.483 km² diselimuti dengan iklim tropis sudah seharusnya Indonesia dapat mencukupi kebutuhan pangannya sendiri, tetapi faktanya tidak.


C. Apakah saran untuk mencapai swasembada pangan di Indonesia ?

Untuk mewujudkan swasembada pangan dan menaikkan kesejahteraan rakyat, termasuk para petani, sejumlah langkah strategis berikut perlu menjadi perhatian dan prioritas.

Pertama, pentingnya sebuah perencanaan yang komprehensif tentang pembangunan pertanian. Tidak cukup sektor pertanian hanya dimasukkan ke dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Diperlukan sebuah blueprint dan roadmap sektor pertanian agar seluruh komponen bangsa mengetahui sasaran, prioritas, daya dukung, dan peta jalan untuk mencapai swasembada pangan dan mewujudkan masyarakat sejahtera.

Kedua, menata kembali tanah di seluruh wilayah Indonesia. Agar petani bisa hidup sejahtera, pastikan bahwa setiap petani minimal memiliki 2 ha lahan pertanian. Dengan lahan seluas ini, petani bisa menanam palawija,  komoditas perkebunan, tanaman keras seperti jati dan mahoni, serta memelihara ternak dan budidaya ikan air tawar. Untuk lahan tanaman pangan perlu ditetapkan batas minimum, misalnya minimal 25 juta ha, atau 1,0 ha per petani.

Saat ini, lahan untuk tanaman pangan, termasuk sawah irigasi, hanya 8,2 juta ha. Masyarakat sungguh merasakan ketidakadilan dalam kepemilikan lahan. Sekitar 13% pemilik tanah menguasai 87% lahan yang berpotensi menjadi lahan pertanian. Mereka adalah para konglomerat pemilik hak pengusahaan hutan (HPH), perusahaan besar yang memiliki perkebunan sawit, karet, cokelat, dan hutan tanaman industri (HTI).

Sebagian besar lahan para konglomerat itu adalah tanah ulayat masyarakat setempat, warisan para leluhur. Data Konsorsium Pembaruan Agraria menunjukkan, sekitar 25 juta lahan saat ini dikuasai oleh pemegang HPH, 8 juta perusahaan HTI, dan 12 juta perkebunan sawit.

Jika 25 juta ha tanaman pangan menjadi target nasional, semua perhatian perlu dicurahkan. Selain 7,3 juta lahan telantar, pemerintah perlu pula mengalihkan lahan HPH dan perkebunan besar yang sudah habis masa hak guna usaha (HGU). Pemerintah harus menjadi tangan Negara untuk menjaga luas minimum lahan untuk tanaman pangan. Dengan luas lahan pangan yang hanya 0,3 ha per orang, petani takkan mungkin hidup sejahtera dan target minimum produksi pangan sulit tercapai.

Secara umum, pemerintah perlu menata kembali kepemilikan tanah —untuk berbagai keperluan— lewat land reform atau reformasi agraria. UU No 5 Tahun 1960 tetang Pokok-Pokok Agraria harus segera dilaksanakan atau diamendemen jika tidak bisa diimplementasi. UU ini tidak bisa dibiarkan di lemari besi tanpa disentuh.

Semua kegiatan masyarakat dan aktivitas pembangunan —pertanian, perkebunan, kehutanan, permukiman, properti, migas, pertambangan, dan infrastruktur— membutuhkan lahan. Tanpa ada penataan kembali lewat reformasi agraria, tanah akan menjadi isu sensitif yang memicu konfllik pada masa akan datang.

Ketiga, konversi lahan pertanian harus dicegah. Sejak diimplementasi tiga tahun lalu, UU No 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sama sekali tidak efektif mencegah penciutan lahan pertanian. Konversi lahan pertanian masih sekitar 600.000 ha per tahun. Di Karawang, salah satu sentra produksi beras nasional, konversi lahan sawah 800 ha per tahun.

Keempat, membangun irigasi. Selain membangun yang baru, sekitar 52% irigasi yang rusak harus segera diperbaiki. Pihak Kementerian Pertanian memperkirakan, perbaikan irigasi membutuhkan dana sedikitnya Rp 21 triliun. Urusan pembangunan waduk dana irigasi adalah tugas Kementerian Pekerjaaan Umum.

Kelima, tenaga kerja di sektor pertanian harus dikurangi dan angkatan kerja baru di sektor pertanian dialihkan ke sektor industri. Sektor industri harus dibangun dengan lebih sistematis dan serius. Hilirisasi jangan sekadar slogan. Pemerintah perlu mendorong pembangunan industri pengolahan hasil pertanian, perkebunan, migas, dan pertambangan. Dengan jumlah penduduk yang besar, Indonesia perlu mengembangkan industri elektronik, industri otomotif, dan aneka industri yang mendukung pertanian.

Statistik ekonomi Indonesia memperlihatkan tingginya tenaga kerja di sektor pertanian kendati sumbangan terhadap PDB menunjukkan penurunan. Pada tahun 1990, pertanian menyerap 55,9% tenaga kerja, sedangkan industri 10,1%. Pada kuartal I-2012, tenaga kerja yang terserap di sektor pertanian turun ke 36,5%, sedang tenaga kerja yang terserap di sektor industri naik tipis ke 12,6%. Pada periode yang sama, kontribusi pertanian terhadap PDB menurun dari 21,5% ke 15,6%, sedang kontribusi industri terhadap PDB meningkat dari 19,9% ke 24,2%.

Keenam, diversifikasi pangan wajib dilakukan. Sampai saat ini, konsumsi beras Indonesia rata-rata 138 kg per kapita, jauh di atas rata-rata dunia, sekitar 53 kg per kapita. Konsumsi beras di Thailand, negeri pengekspor beras, hanya 70 kg per kapita dan Malaysia, negeri serumpun, hanya 77 kg per kapita.

Jika diturunkan 50 kg, atau konsumsi beras hanya 88 kg per kapita, Indonesia bisa menghemat 12 juta ton per tahun. Jika konsumsi beras bisa dipangkas sebanyak ini, Indonesia bukan hanya bisa berswasembada beras, melainkan juga menjadi eksportir. Indonesia memiliki banyak bahan pangan mengandung karbohidrat di luar beras seperti ubi-ubian, sagu, dan sukun.

Pola hidup masyarakat perlu diubah dengan mendorong konsumsi daging, ikan, sayur mayur, buah-buahan, telur, dan susu. Konsumsi protein rakyat Indonesia tergolong paling rendah di dunia. Daging, misalnya, rakyat Indonesia hanya mengonsumsi 4,9 kg per kapita, sedang Malaysia sudah 49 kg dan RRT 53,5 kg per kapita. Konsumsi susu Indonesia baru 11,5 liter, bandingkan dengan Malaysia yang sudah 37 liter per tahun.

Walau konsumsi sangat minim, Indonesia masih mengimpor daging dan susu dalam jumlah besar. Setiap tahun, Indonesia mengimpor 500.000 ekor sapi hidup di luar impor daging beku. Jika ada keseriusan, Indonesia tidak perlu mengimpor daging, susu, dan telur. Sumber protein dan mineral yang belum tergarap adalah perikanan laut dalam dan budidaya ikan air tawar. Jika ada perhatian yang serius terhadap pengelolaan hasil laut dan budidaya ikan, Indonesia tidak akan kekurangan sumber protein.

Ketujuh, pimpinan Kementerian Pertanian (Kementan) perlu dipercayakan kepada figur profesional nonpartisan. Dalam tujuh tahun terakhir, defisit produk pangan terus membesar. Perkembangan buruk ini tidak semata-mata disebabkan oleh menciutnya luas lahan, melainkan juga minimnya perhatian Kementan. Indikasi paling menonjol adalah minimnya tenaga penyuluh lapangan dan langkanya benih unggul. Padahal, anggaran yang disalurkan ke Kementan terus meningkat setiap tahun, persis berbanding terbalik dengan produksi yang pangan yang menurun.

Pada tahun 2012, anggaran untuk sektor pertanian Rp 17,8 triliun, naik dua kali lipat dibanding tahun 2009 yang hanya Rp 8,2 triliun. Pada 2013, sektor ini bakal mendapat kucuran Rp 19,3 triliun. Tapi, pada tahun 2011, Indonesia masih mengimpor 2,75 juta ton beras senilai US$ 1,5 miliar. Selain itu, negeri ini juga mengimpor 2,08 juta ton kedelai (US$ 1,24 miliar), dan 3 juta ton jagung (US$ 1,02 miliar). Indonesia juga mengimpor buah dan sayuran serta ubiubian selain gandum.

Kedelapan, pentingnya koordinasi antarinstansi pemerintah. Tidak semua penyelesaian masalah pertanian berada di bawah kendali Kementan. Pembangunan waduk, misalnya, adalah tanggung jawab Kementerian Pekerjaan Umum. Sebagian lahan tanaman pangan juga tergantung pada Kementerian Kehutanan.

Kesembilan, penguatan fungsi Bulog sebagai badan penyangga dan stabilisator harga pangan. Dengan pasokan pangan yang tergantung musim, sentra produksi pangan yang jauh dari konsumen, dan wilayah Indonesia yang kepulauan, harga pangan akan selalu berfluktuasi dan rawan spekulasi. Karena itu, keputusan pemerintah untuk merevitalisasi Bulog merupakan langkah tepat. Ke depan, Bulog tidak saja menangani beras, melainkan juga kedelai, gula, daging, dan minyak goreng.

Inilah sembilan solusi untuk mencegah krisis pangan dan lonjakan harga pangan. Negeri dengan wilayah daratan dan laut yang luas ini tidak saja cukup untuk swasembada pangan, melainkan juga cukup untuk menyejahterakan seluruh rakyat. Jika dikelola dengan baik, Indonesia bahkan mampu menjadi lumbung pangan dunia.

Sumber :

http://www.investor.co.id
http://www.radioaustralia.net
http://www.neraca.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar